Selasa, 06 Juli 2010

Ambun n Rimbun 1

naskah drama 1

Ambun dan Rimbun

Konon, pada zaman dahulu kala, di sebuah kampung di daerah Kalimantan Tengah, hiduplah seorang janda bersama dua orang anak laki-lakinya yang sudah remaja. Anak pertamanya bernama Rimbun, sedangkan anak keduanya bernama Ambun. Rimbun memiliki penyakit dimana badannya sangat tinggi, namun sangat lemah. Sedangkan Ambun, perawakannya kecil namun kuat.

Ambun dan Rimbun adalah anak yang rajin dan hormat kepada orang tua. Setiap hari mereka membantu ibunya mencari kayu bakar ke hutan dan menjualnya ke pasar.

Pada suatu sore, Rimbun melihat adiknya termenung seorang diri di beranda rumah mereka.

R : “Bun! Apa yang sedang kamu pikirkan?”.

A : “Aku sedang memikirkan nasib keluarga kita. Kalau setiap hari hanya mencari kayu bakar, kehidupan kita tidak akan pernah membaik,”.

R : “Lalu, apa rencana dik?”

A : “Aku akan pergi merantau untuk mengubah nasib keluarga kita. Banyak orang di kampung ini kehidupannya menjadi lebih baik sepulangnya dari merantau,”.

R : “Wah, kalau begitu, Abang akan ikut bersamamu,”.

A : “Jangan, Bang! Kamu di sini saja menemani ibu. Kalau Abang ikut, kasihan ibu ditinggal sendiri. Lagi pula aku takut abang tak sanggup berjalan jauh.”.

R : “ Hemm, apakah tidak apa-apa dik? Baiklah, aku akan tinggal menemani ibu.”

Malam harinya, kedua kakak-beradik itu menyampaikan niat mereka kepada sang Ibu. Mendengar hal itu, sang Ibu hanya terdiam. Ia bingung bagaimana menyikapi keinginan Ambun. Menurutnya, apa yang dikatakan kedua putranya itu memang benar, bahwa merantau dapat memperbaiki kehidupan keluarga mereka, tetapi di satu sisi, umur mereka masih sangat muda.

A : “Bagaimana, Bu? Apakah ibu mengizinkan Ambun pergi?”.

I : “Sebenarnya Ibu merasa berat mengizinkan kamu pergi. Ibu khawatir terhadap keselamatan kamu di rantau. Kamu masih terlalu muda untuk merantau,”.

R : “Iya, Bu! Tapi, Ambun pasti bisa menjaga dirinya, karena dia sangat kuat,

I : “Baiklah, kalau memang Ambun bersikukuh akan pergi, Ibu mengizinkan. Tapi Ibu berpesan, Ambun harus menghormati orang lain,”.

A : “Terima kasih, Bu!”.

Ambun segera menyiapkan segala keperluannya, termasuk celana dan bajunya yang terbuat dari kulit kayu di bantu oleh Rimbun. Sementara sang Ibu sibuk menyiapkan makanan untuk bekal Ambun di jalan. Ia memasak tujuh buah ketupat dan tujuh biji telur ayam. Setelah itu, ia mengambil beberapa butir beras dan mencelupkannya ke dalam air, lalu mengoleskannya di ubun-ubun Ambun seraya berdoa:

I : “Semoga Ranying Hatalla Langit (semoga Tuhan melidungimu).”

Saat tengah malam, perempuan paruh baya itu membuka sebuah peti besi kecil berisi sebilah dohong (keris pusaka) yang satu berlilitkan kain merah dan diserahkan kepada Ambun.

I : “Senjata pusaka ini adalah peninggalan almarhum ayahmu. Tapi, ingat! Senjata ini hanya boleh kamu gunakan jika dalam keadaan mendesak,”

A : “Baik, Bu! Ambun akan selalu mengingat pesan Ibu,”.

Keesokan harinya, Ambun dan dibantu oleh Rimbun bersiap-siap untuk berangkat dan berpamitan kepada sang Ibu tercinta. Suasana haru pun menyelimuti hati sang Ibu. Air mata sang Ibu tidak dapat dibendung lagi. Demikian pula kedua orang kakak-beradik itu. Mereka tidak kuat menahan rasa haru.

I : “Berangkatlah, Nak! Nanti kamu kemalaman di jalan. Jika sudah berhasil, cepatlah kembali!”.

A : “Baik, Bu! aku akan segera kembali jika sudah berhasil,”.

R : “Hati-hati dik, semoga kamu sehat selalu”

Usai mencium tangan sang Ibu, Ambun pun pergi meninggalkan kampung halamannya. Sang Ibu dan Rimbun berdiri di depan pintu sambil melambaikan tangan mengiringi kepergian Ambun.

Ambun berjalan mendaki gunung, menuruni lembah, dan menyeberangi sungai. Ambun berjalan mengikuti arah matahari terbenam. Saat malam tiba, dia berhenti untuk beristirahat. Ketupat dan telur pemberian sang Ibu dimakannya sedikit-sedikit. Ketika matahari mulai menampakkan wajahnya di ufuk timur,dia kembali melanjutkan perjalanan. Tidak terasa, sudah berhari-hari dia berjalan.

...Brsambung,,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar